POROS METRO, Kejaksaan Agung mengeluarkan program restorative justice yang meupakan gebrakan dalam penanganan perkara narkotika yang mendapat apresiasi dunia internasional.
Terobosan restorative justice alias keadilan restoratif dalam penanganan kasus narkotika ini memungkinkan para korban penyalahgunaan narkotika mendapatkan haknya untuk diobati secara mental dan fisik.
Program ini membuat Kejaksaan Agung mendapat berbagai penghargaan, dari dalam hingga luar negeri. Korps Adhyaksa memperoleh Special Achievement Award dari International Association of Prosecutors (IAP) pada September 2022, yang menilai konsep restorative justice paling efektif, efisien, dan berkeadilan, dalam menyelesaikan perkara di luar pengadilan.
Kejaksaan Agung juga mendapat apresiasi dari United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC). Lembaga dunia ini juga mendukung penyelesaian perkara korban penyalahgunaan narkotika dengan konsep restorative justice.
Keadilan restoratif merupakan konsep baru yang berkembang dalam penyelesaian perkara sebagai pola pemikiran hukum modern. Program ini dinilai membawa harapan baru terhadap penyelesaian perkara pidana di tingkat penuntutan dengan konsep cepat, tepat, sederhana, serta efektif sesuai dengan KUHAP.
Hasil penelitian mendalam di beberapa kejaksaan negeri di Jawa Timur telah menjadi role model dalam penyelesaian perkara korban penyalahgunaan narkotika dengan konsep restorative justice ini.
Bukan tanpa alasan, sebagai lembaga yang menjadi pelopor penegakan hukum humanis, Kejaksaan Agung menerapkan restorative justice karena menilai criminal justice system alias sistem peradilan pidana terpadu belum mampu membangun penanganan yang efektif karena cenderung berjalan sendiri sehingga menyebabkan penegakan hukum punitif, yakni mengejar hukuman dan pembalasan.
Sistem peradilan pidana membuat biaya penanganan perkara menjadi besar. Tingkat hunian lembaga pemasyarakatan pun mengalami over capacity alias melebihi kapasitas. Apalagi data menunjukkan 60 persen penghuni lapas adalah penyalahguna narkotika.
Kondisi itu membuat Jaksa Agung merasa prihatin dan membuat terobosan dengan menerapkan restorative justice dalam menangani perkara narkotika. Jaksa Agung menegaskan agar pengguna narkotika tidak berada dalam satu sel tahanan dengan pengedar. Pengedar perlu mendapat perhatian serius.
Penerapan restorative justice dituangkan dalam Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif Sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa.
Namun, pelaksanaan pedoman itu tidak sembarangan. Aturan itu dilakukan secara ketat dengan melihat jumlah barang bukti, kualifikasi tersangka, kualifikasi tindak pidana, pasal yang disangkakan, unsur kesalahan (mens rea) pada diri tersangka, serta pemeriksaan terhadap Tersangka secara seksama melalui hasil asesmen terpadu.
Jaksa wajib memberi petunjuk pada Penyidik untuk memastikan tersangka merupakan end user alias pengguna terakhir, tahu profil tersangka, baik gaya hidup, transaksi keuangannya, hingga kolega dan lingkungannya (know your suspect)
Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam berbagai kesempatan menegaskan tidak boleh ada yang bermain-main dengan program humanis ini. Sebab restorative justice ini merupakan “program memanusiakan manusia” yang melihat pelaku sebagai korban penyalahgunaan narkotika sehingga perlu mendapat pengobatan serius.
“Jika ada Jaksa yang main-main, saya tegaskan akan saya pidanakan,” tegas Jaksa Agung.
Jaksa Agung mendorong pemerintah daerah dan penegak hukum berkolaborasi mendirikan rumah rehabilitasi di setiap provinsi dan kabupaten atau kota sebagai upaya serius bagi penegakan hukum yang humanis.
Rehabilitasi hanya bisa dilakukan bagi mereka yang terbukti sebagai pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika. Bagi mereka yang memiliki dan menguasai, juga dimungkinkan menjalani rehabilitasi apabila dalam proses asesmen menunjukkan bahwa narkotika digunakan untuk dikonsumsi sendiri dengan jumlah sangat kecil.
Restorative justice dalam perkara narkotika tidak saja dilihat sebagai pintu terakhir dalam proses peradilan, tetapi sebagai bentuk rehabilitasi yakni pemulihan kembali korban pelaku ke keadaan semula. Korban yang telah menjalani rehabilitasi diharapkan tidak hanya sembuh tetapi dapat kembali ke masyarakat dan tak lagi menggunakan narkotika.
Sumber: Kejaksaan.go.id